Pembuka Botol

Manusia adalah tubuh dan jiwa…

Maka dalam hal ini botol adalah tubuh, dan air adalah apa yang dikandung oleh tubuh tersebut…


Air sudah tertampung di dalam botol sebelum botol minuman dikemas dan didistribusikan.

Seperti itu pula Allah meniupkan ruh sebelum manusia dikeluarkan dari rahim ibunya.

Air sudah ada pada diri kita, tapi seperti layaknya minuman botol yang tak bisa dinikmati bila tutupnya belum dibuka, begitu pula manusia.

Tulisan ini bukan tulisan tentang cara membuka botol, namun lebih pada mencari pembuka botol itu sendiri.

Nyelip dimana? Tempat mana yang belum dicari?


Tulisan ini ditulis oleh seekor ayam yang (semoga) dari pantatnya keluar intan diantara kotorannya.

Sehingga sudah tidak penting lagi ayamnya, karena terlanjur silau oleh intannya. Karena intan tetaplah intan darimana pun datangnya.


Tulisan ini ditulis oleh ayam yang ingin belajar terbang…

Semenjak melihat rajawali jauh di atas kepalanya…


Tulisan ini diperuntukkan bagi sesama ayam yang ingin belajar terbang walaupun dikatakan tak mungkin.

Atau bagi rajawali yang terbang mengitar dengan segala pesonanya, tapi lupa caranya untuk mendarat.

Atau bagi burung phoenix yang berkenan membagi sedikit cahaya dari bulu apinya, pada seekor ayam yang pantatnya lecet karena intan.


Semoga Tulisan ini bisa bermanfaat…

atau setidaknya… semoga menyenangkan…

Tapi yang pasti…. semoga Allah berkenan…

Wasalam…

Ayam

Laman

Kamis, 29 September 2011

Al Fajr & SirotolMustaqim

Surat Al Fajr :
15. Maka adapun manusia itu apabila Tuhannya menguji, lalu memuliakannya dan memberi nikmat kepadanya, maka ia akan berkata, “Tuhanku telah memuliakanku”.
16. Tetapi apabila ia mengujinya, lalu Dia sempitkan rezekinya, maka ia akan berkata, “Tuhanku telah menghinaku”.
17.  Sekali-kali tidak demikian,...

Tidak demikian!!! Musibah adalah hidayah dan keberlebihan adalah cobaan…

Namun pada tahapan selanjutnya… tiada kekurangan tiada kelebihan. Hanya sunatullah… dan Sunatullah hanya ada sebagaimana mestinya. Bahkan Mujizat pun tidak ada, yang ada hanyalah kekurangan pengetahuan manusia.

Umat Islam bangga pada nabinya karena beliau mampu menolak gunung emas yang ditawarkan Allah padanya. Apakah gunung emas merupakan penawaran atas keberlebihan? Sekali-kali tidak demikian. Sang nabi menolaknya, karena bagi dia, eksistensi gunung emas samasekali tak ada. Bukan keberlebihan yang ia tolak, tapi sudah sewajarnya… apa yang bisa diterima dari sesuatu yang memang tidak ada?

Konon suatu waktu beliau dilempari kotoran. Namun bagi dia… dia tidak dilempari apa-apa…
Tiada bedanya gunung emas dengan kotoran…

Seperti bagi Nabi Isa, tiada teman tiada musuh… cintanya pada semua, seperti cintanya pada dirinya sendiri.

Diri yang mana?

Bila musuh tiada, teman tiada, gunung emas tiada, kotoran tiada… apakah wujud mereka sendiri ada? Hakekat adalah abadi sementara wujud mengalami kelahiran dan kematian…  

Wujud bukanlah hakekat.

Nabi Isa mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya. Dia mengenal hakekat dirinya, dan dalam kepasrahan dirinya dia diangkat menuju hakikatnya. Nabi isa tidak disalib, tidak pula Judas.
Penyaliban wujud tak menyentuh Sang nabi, karena hakikat dirinya tidak terjebak disana… Seperti kata kitab, beliau telah diangkat sebelum penyalibannya. Dan kematian wujud tidak menyentuh hakikat dirinya…

Luasnya kenikmatan dan sempitnya rejeki… selama berwujud, itu tetaplah ujian… karena demi masa, manusia berada dalam kerugiannya…

Nikmat dan sengsara, gunung emas dan kotoran, musuh dan teman, kiri dan kanan… yin dan yang…

Kenali yang dua dan temukan tengahnya. Maka ujian akan berakhir. Lewati surga, lewati neraka…maka jalan terbentang, yaitu Sirotol mustakim yang tipisnya tak habis terbagi. Infinite, seperti nol yang tak habis dibagi, tak terhingga… Seperti Allah yang Agung tak berujung.

Dan di ujung jalan yang tak berujung, Allah menanti mereka yang menanti. Dan Dialah Yang Maha Sabar… bagi mereka yang sabar... sabar dalam membersihkan jalannya.

Jalan yang mana? 
Jalan yang tidak di langit tidak di bumi, di mizan tempat Arasy berada... Lebih dekat dari urat leher kita sendiri...  



Selasa, 27 September 2011

Bertanya-tanya Bukanlah Meragukan Kebenarannya…

Mengapa umat islam tidak bertanya-tanya? Hanya menerima cerita apa adanya… dan barang siapa yang bertanya-tanya disebut tidak percaya… maka dengan begitu diclaim tidak beriman…

Padahal dalam kitab-Nya, Allah menyisipkan pesan-pesan-Nya berupa keanehan ceritanya…

Dalam surat Yusuf tertera… Petunjuk bagi yang bertanya-tanya. Dalam ayat lain dia ungkapkan, manusia celaka yang mengikuti jejak leluhurnya…

Apakah Quran sudah kedaluarsa? Sehingga sebagian ayat ditujukan bagi umat jaman dahulu saja… dan tidak bagi kita?

Atau… ketika Quran diturunkan bagi umat Islam… mengapa sebagian ayatnya diclaimkan bagi yang non-Islam saja?

Ketika manusia beragama hanya karena percaya pada kata-kata leluhurnya, baik orang tuanya ataupun guru agamanya, dan dia tidak juga bertanya-tanya… maka Quran sedang menyindirnya…

Bertanya-tanya adalah kontemplasi, dan ketika jawaban akhirnya datang, maka dia beriman hanya karena dirinya dan karena Tuhannya. Dia tidak beriman hanya karena ajaran sudah tertulis dalam kitab, tapi karena keanehan isi kitab menghantarkannya pada kebenaran lanjutannya.

Quran mengandung kebenaran, namun bukan kebenaran itu sendiri. Mengimaninya menghantarkan pada sang kebenaran sejati, Sang sumber tempat kembali.



 (QS 12:7)Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya.

(QS 32:26) Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda. Maka apakah mereka tidak mendengarkan ?

Rabu, 21 September 2011

Kitab Bukan Tentang Dongengnya Ataupun Nama Nabinya…

Dalam diriku dua samudara saling menyapu…dan di tengahnya, Dia tiupkan nafas-Nya sebagai kesejatian diriku.

Aku diturunkan ke dunia. Adam kodratku yang bernafsu satu, dan Hawa tulang rusuk penjaga hatiku tempat nafsuku yang berjumlah sembilan.

Mataku wujudku mulai melihat, dan indra lainnya turut membantu…
Sumberku yang adalah hakikat tidak tertiup dalam hanya diriku, melainkan ribuan wujud selain aku. Namun tak kuasa kumelihat-Nya …selain sebagai benda-benda yang mengisi mata… memenuhi otakku sebagai keberagaman bukannya sebagai Sang Satu… dan kudefinisikan dunia dalam perbendaharaan bahasa.. .

Dan kini segala hal rancu dalam diriku, malaikat menasihatiku dan setan bercengkrama denganku. Keduanya baik bagiku… sampai suatu saat sebuah apel menyadarkanku, bahwa kondisiku tidak seperti dulu, kini… melalui dunia ini dan tubuh ini… ada kebenaran, ada juga kesalahan… Benar dan salah, baik dan benar, segala perbendaharaanku kupilah berdasarkan itu.

Yang salah kubuang, dan kebenaran yang mampu kumengerti kuwadahi dalam bahteraku. Bahteraku luas lagi kokoh, tak ada badai yang mampu mengguncangku.

Usiaku bertambah dan banyak hal kulalui. Langlangbuanaku menembus waktu menghantarkanku pada kenyataan… bahwa sebaik-baiknya aku, keburukan tetap saja menyelinap di situ. Pernah suatu waktu ku sedekah pada seorang peminta, kebahagiaan sungguh menyelimutiku… setahun berlalu semenjak itu, dan di tanggal yang sama tahun berbeda, jodoh membuat  kami bertemu kembali. Aku bertanya, mengapa kau masih meminta-minta? Tahun lalu adalah pengalaman mengemis pertamaku, dia berkata… ternyata mengemis menunjang  hidupku, terimakasih pada dirimu, kini ku mantap dalam jalan hidupku, karena ternyata banyak juga orang sepertimu…

Aku kaget, aku bingung… Sikap itu lahir karena andilku …
Kucoba berintrospeksi,  apa mungkin kusalah dalam mendefinisikan kebenaranku? Kemudian ku berkontemplasi. Kuinginkan kebenaran yang sejati…

Kupelajari dunia, kubandingkan bulan dengan matahari… Dan kutemukan Tuhan yang selama ini kucari… Dia menjawab pencarianku… Dia berkata, kemanapun aku memandang disitulah Dia…

Aku menjadi tenang… Sejak itu, kujalani hari-hariku dengan kebaikan dalam kebenaran baruku. Dengan percaya diri aku tahu… bahwa tak ada celah dalam lakuku, bahkan demi cintaku pada Kebenaran itu, aku rela mengorbankan darah dan dagingku… 

Tapi hal itu terjadi lagi… kebaikanku melahirkan kembali dua kubu… dan sekarang effeknya tak terbendungkan lagi… sepertinya lakuku beranak pinak menjadi dua bangsa… dua bangsa besar dengan dua idealisme kebenaran…  Ternyata selama aku masih menempati wujud, maka kebaikanku pun memiliki wujud, dan dalam setiap wujud terpendam selalu dua samudra, benar dan salah… sebenar apapun itu…

Aku harus berintrospeksi kembali… kebenaranku tak  sebaik sangkaanku… kini yang harus ku lakukan adalah tidak mendefinisikan kebenaran sebagai kebenaran. Aku hanya harus melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan saat ini. Walau membunuh diharamkan, harus kubunuh sebagian kebenaranku, walaupun kebenaran itu sudah sangat akrab dengan diriku, kebenaran itu bahkan telah merawatku semenjak kecil. Kini persepsiku dijungkir balikkan, aku harus menjunjung sebagian kebenaran diriku yang lainnya. Kulepaskan kebahagian dunia dan ku bela kata hatiku yang selama ini terjajah.
Rasanya seperti perang… dua bangsa dengan dua raja bertempur dalam diriku… satu adalah raja dunia, dan satu raja lagi raja kecil seperti pelita, tapi sekecil-kecilnya pelita, tetap saja dia cahaya… nur… nur dalam diri, kusebut nurani.
Nurani itu… cahaya lilin yang selama ini terperdaya, ternyata pelita justru terlihat terang di pekatnya kegelapan…  Nurani itu… sang raja terjajah berjuang melepaskan diri dengan membawa rakyatnya yang sevisi… yang terjajah.

Kutemukan diriku di sebuah jalan… menuju kebahagiaan yang dijanjikan… di sebuah jalan penuh pemahaman diri, dimana pemahamanku mulai menjalani seleksi. Aku berdoa pada Tuhanku, kuminta Petunjuk-Mu… Dan jawabannya membingungkan sekali… pergilah ke tanah terjanji…
Tapi dimanakah itu? Dia malah mempertemukanku dengan seorang sufi…

Dari semua ajarannya yang berjumlah hanya tiga… kusimpulkan… bahwa petunjuk ada bagi diri… dan jawaban ada di dalam diri… dan ternyata itulah tanah terjanji… tanah yang membentuk tubuh ini…

Jadilah aku raja bijak yang mengurusi rakyatku, yaitu pemahama-pemahamanku… nafsu-nafsuku… dan segala kodrat tubuhku…

Aku menjadi raja sufi, setan dalam diriku kutaklukkan dan menjadi pembantu-pembantuku… Namun bantuannya kadang berlebihan, dan sering kali aku terlena… bila aku terus begini, maka diantara para sufi, aku mungkin akan menjadi sufi terakhir yang kelak masuk surga.

Maka aku berkontemplasi kembali…
Kulepaskan derajat rajaku dan menjadi rakyat biasa, hidupku sederhana bukan karena ku tak mampu… aku menjadi seorang pengrajin kayu…
Setiap kayu yang kusentuh kusentuh dengan hatiku. Semua lekuk uratnya kudalami, kerasnya, lenturnya, daya muainya, derajat kekeringannya, aku menyatu dengannya, sehingga karyaku yang adalah kayu sebenarnya adalah aku sendiri.
Tidak hanya kayu, mengerti satu aku mengerti semua…dan menyatulah aku dengan alam. Di atas air aku bagaikan udara, aku melewatinya tanpa tenggelam di dalamnya…
Air adalah aku, udara adalah aku, kayu adalah aku… maka seperti apakah Tuhanku? Dan kembali ku berkontemplasi…
Mengapa aku bisa mewujud sebagai semua? Mestikah ada kesamaan atara aku dan segalanya? Apakah hakekatnya adalah kesamaannya? Bila hakekat dari segalanya berpulang pada sumbernya, maka siapakah aku? Zat apakah aku? Air itu, udara itu, kayu itu… zat apakah itu? zat yang satu?

Ketika aku melepaskan wujudku, jiwaku mampu menyatu dengan karya kayuku dan karyaku sebenarnya adalah aku, ketika aku membebaskan jiwaku dari keterperdayaan tubuhku tak ada air yang dapat menenggelamkanku…

Bahkan musuhku yang membenciku adalah diriku…Maka aku harus mencintainya seperti cintaku pada diriku sendiri…

Absurt… tapi itulah penjelasan Tuhanku lewat wujud-wujud yang tertangkap indra… penjelasannya menghantarkan pada petunjuk berikutnya… dan akhirnya tentang diri-Nya…

Tubuhku… jiwaku… Tuhanku… tiga hal yang selama ini kupandang berbeda…

Dan kini aku seperti terlahir kembali… tidak ada kebenaran mutlak… yang ada hanya benar dan salah, dimana salah terpendam dalam benar, dan benar tersimpan dalam salah… Selama dalam wujud ini, aku hanya bisa melakukan yang terbaik, bukan yang terbenar… karena kebenaran tak pernah milikku selama aku berwujud…

Kini aku berperang bila itu yang terbaik, aku sedih ketika membunuh, tapi kondisi dunia yang terjebak waktu dan ruang mengharuskannya… pada saatnya… pada tempatnya… itu harus…

Benar dan salah, kiri-kanan, atas-bawah, malaikat dan setan, yang menyembah yang disembah… diriku dan Tuhanku…
Selalu ada antara yang membatasi setiap dua, sebuah ruang kosong sebagai singgasana-Nya…
Dan ketika aku menemukan intisari-Nya, aku akan bertemu dengan-Nya…
Dalam ketakberdayaan tubuh jiwa mengambil alih… dalam ketakberdayaan jiwa sumberku menampakkan diri… Ketika miraj terjadi pada diriku, itulah derajat tertinggi keimananku dalam wujud ini. Itulah derajat terakhirku, seperti yang pernah dilalui orang-orang beriman terdahuluku…aku menyaksikan-Nya… Dan itulah syahadatku.

Asyhadu An-Laa Ilaaha Illallah
Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah


** Isi kitab bukan dongeng tentang umat terdahulu, bukan cerita yang terkukung masa… masa ruang ataupun waktu…hanya wujud yang terkungkung masa, maka manusia wujud berada dalam kerugiannya…

**Atas isi kitab, manusia bukannya mencari intinya, malah membahas silsilahnya, mencari lokasi kejadiannya… menyimpulkan tahun kejadiannya…
Tidak penting siapa keturunan siapa, nama A atau nama B, tapi pesan di balik ceritanya, hakikat di balik personalnya…
**Ketika nabi tak teridentifikasi secara judul (nama) maka yang muncul adalah hakekatnya, seperti yang sering disebut-sebut sebagai hakikat Muhammad, atau nur Muhammad, atau mungkin lebih tepat nur Ahad…
Sudah sewajarnya Nur Muhammad telah ada sejak nabi pertama, karena bukan personalnya yang ada, namun sejatinya… kesejatian manusia sudah ada sejak awal penciptaan, dimana tak ada yang lebih sejati daripada sang Sejati itu sendiri. Bahkan tak ada yang ada selain Yang Maha Ada itu sendiri. Namun konsep “ada dan tiada” terdistorsi oleh wujud, sehingga yang mewujudlah yang manusia sebut sebagai ada.

**Ada petunjuk yang mengkerucut pada sebuah inti, dimana kitab menyebutkan, bahwa petunjuk adalah bagi diri… Para sufi bahkan melanjutkan, bahwa siapa yang mengenali dirinya mengenali Tuhannya… Makna semua nabi adalah tentang aku, dan kesadarnnya akan melahirkan pertanyaan… Siapakah aku?

**Manusia pada sejatinya adalah makhluk sempurna, padahal kesempurnaan adalah sifat-Nya… maka apakah tak terbayangkan, sedekat apakah hubungan manusia dengan Tuhannya?

**Zat itu… Yang Maha Sumber… Takkan selamat mereka yang tak kembali (pada sumbernya)

Jumat, 16 September 2011

Ayat Grafitasi

Grafitas... menerangkan tentang tarik dan tolak, menyebabkan jatuh dan melayang, menciptakan atas dan bawah.

Allah menciptakan langit dalam 2 masa, bumi dalam 4, dan mizan di antaranya, tidak di keduanya, namun meliputi keduanya.

Adakah satu kebenaran mutlak di dunia? Bila segala yang ada di dunia memiliki derajat wujud saja? Bila bentuk bulat bumi saja telah jelas mengungkapkan bahwa langit yang sejajar manusia pun ada dua… satu di atas kepala dan satu lagi jauh di bawah kaki kita…

Manusia terjebak kebenaran primordialnya bahwa langit ada di atas, dan surga adalah benar…

Quran berkata… manusia hanya mengerti sebatas pembawaannya… Maka persepsi lingkungan, budaya telah menutup kenyataan tentang mizan di dirinya.

Hakikat adalah inti, dan grafitasi menarik segala di atasnya menuju pusat radius bumi. Dan pikiran pun tertarik ke inti radius diri…
Di situ… adakah atas dan bawah? Di inti, atas dan bawah rancu menjadi satu… karena inti tidak di satupun kutub permukaannya, namun meliputi keduanya… semuanya…

Manusia di permukaan bumi bicara tentang hakikat, namun persepsinya senantiasa terhalang oleh tanah yang dipijaknya, tanah yang menjadikannya. Sehingga menembus bumi terasa sulit sekali…

Dan akhirnya kebenaran mutlaknya tak pernah mencapai kemutlakan… hanya sebatas pembawaan dirinya… yang mampu dipahaminya… segitu-gitunya…

Maka adakah kebenaran mutlak yang mewujud di dunia?  Ketika Allah menciptakan segalanya berpasang-pasangan… dan manusia cenderung membenarkan yang satu, sehingga yang satu lagi menjadi kesalahan…

Surga bagi wujud adalah kebenaran, namun ketika Rabiah menolaknya…dia menjadi kekasih Tuhan sejatinya.

Ketika kesalahan terlihat dalam kebenaran wujud, dan kebenaran disadari dari kesalahan wujud… maka mizan didekati, yang tidak berpihak pada satu diantara dua, namun pada satu yang meliputi semuanya…