Dalam diriku dua samudara saling menyapu…dan di tengahnya, Dia tiupkan nafas-Nya sebagai kesejatian diriku.
Aku diturunkan ke dunia. Adam kodratku yang bernafsu satu, dan Hawa tulang rusuk penjaga hatiku tempat nafsuku yang berjumlah sembilan.
Mataku wujudku mulai melihat, dan indra lainnya turut membantu…
Sumberku yang adalah hakikat tidak tertiup dalam hanya diriku, melainkan ribuan wujud selain aku. Namun tak kuasa kumelihat-Nya …selain sebagai benda-benda yang mengisi mata… memenuhi otakku sebagai keberagaman bukannya sebagai Sang Satu… dan kudefinisikan dunia dalam perbendaharaan bahasa.. .
Dan kini segala hal rancu dalam diriku, malaikat menasihatiku dan setan bercengkrama denganku. Keduanya baik bagiku… sampai suatu saat sebuah apel menyadarkanku, bahwa kondisiku tidak seperti dulu, kini… melalui dunia ini dan tubuh ini… ada kebenaran, ada juga kesalahan… Benar dan salah, baik dan benar, segala perbendaharaanku kupilah berdasarkan itu.
Yang salah kubuang, dan kebenaran yang mampu kumengerti kuwadahi dalam bahteraku. Bahteraku luas lagi kokoh, tak ada badai yang mampu mengguncangku.
Usiaku bertambah dan banyak hal kulalui. Langlangbuanaku menembus waktu menghantarkanku pada kenyataan… bahwa sebaik-baiknya aku, keburukan tetap saja menyelinap di situ. Pernah suatu waktu ku sedekah pada seorang peminta, kebahagiaan sungguh menyelimutiku… setahun berlalu semenjak itu, dan di tanggal yang sama tahun berbeda, jodoh membuat kami bertemu kembali. Aku bertanya, mengapa kau masih meminta-minta? Tahun lalu adalah pengalaman mengemis pertamaku, dia berkata… ternyata mengemis menunjang hidupku, terimakasih pada dirimu, kini ku mantap dalam jalan hidupku, karena ternyata banyak juga orang sepertimu…
Aku kaget, aku bingung… Sikap itu lahir karena andilku …
Kucoba berintrospeksi, apa mungkin kusalah dalam mendefinisikan kebenaranku? Kemudian ku berkontemplasi. Kuinginkan kebenaran yang sejati…
Kupelajari dunia, kubandingkan bulan dengan matahari… Dan kutemukan Tuhan yang selama ini kucari… Dia menjawab pencarianku… Dia berkata, kemanapun aku memandang disitulah Dia…
Aku menjadi tenang… Sejak itu, kujalani hari-hariku dengan kebaikan dalam kebenaran baruku. Dengan percaya diri aku tahu… bahwa tak ada celah dalam lakuku, bahkan demi cintaku pada Kebenaran itu, aku rela mengorbankan darah dan dagingku…
Tapi hal itu terjadi lagi… kebaikanku melahirkan kembali dua kubu… dan sekarang effeknya tak terbendungkan lagi… sepertinya lakuku beranak pinak menjadi dua bangsa… dua bangsa besar dengan dua idealisme kebenaran… Ternyata selama aku masih menempati wujud, maka kebaikanku pun memiliki wujud, dan dalam setiap wujud terpendam selalu dua samudra, benar dan salah… sebenar apapun itu…
Aku harus berintrospeksi kembali… kebenaranku tak sebaik sangkaanku… kini yang harus ku lakukan adalah tidak mendefinisikan kebenaran sebagai kebenaran. Aku hanya harus melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan saat ini. Walau membunuh diharamkan, harus kubunuh sebagian kebenaranku, walaupun kebenaran itu sudah sangat akrab dengan diriku, kebenaran itu bahkan telah merawatku semenjak kecil. Kini persepsiku dijungkir balikkan, aku harus menjunjung sebagian kebenaran diriku yang lainnya. Kulepaskan kebahagian dunia dan ku bela kata hatiku yang selama ini terjajah.
Rasanya seperti perang… dua bangsa dengan dua raja bertempur dalam diriku… satu adalah raja dunia, dan satu raja lagi raja kecil seperti pelita, tapi sekecil-kecilnya pelita, tetap saja dia cahaya… nur… nur dalam diri, kusebut nurani.
Nurani itu… cahaya lilin yang selama ini terperdaya, ternyata pelita justru terlihat terang di pekatnya kegelapan… Nurani itu… sang raja terjajah berjuang melepaskan diri dengan membawa rakyatnya yang sevisi… yang terjajah.
Kutemukan diriku di sebuah jalan… menuju kebahagiaan yang dijanjikan… di sebuah jalan penuh pemahaman diri, dimana pemahamanku mulai menjalani seleksi. Aku berdoa pada Tuhanku, kuminta Petunjuk-Mu… Dan jawabannya membingungkan sekali… pergilah ke tanah terjanji…
Tapi dimanakah itu? Dia malah mempertemukanku dengan seorang sufi…
Dari semua ajarannya yang berjumlah hanya tiga… kusimpulkan… bahwa petunjuk ada bagi diri… dan jawaban ada di dalam diri… dan ternyata itulah tanah terjanji… tanah yang membentuk tubuh ini…
Jadilah aku raja bijak yang mengurusi rakyatku, yaitu pemahama-pemahamanku… nafsu-nafsuku… dan segala kodrat tubuhku…
Aku menjadi raja sufi, setan dalam diriku kutaklukkan dan menjadi pembantu-pembantuku… Namun bantuannya kadang berlebihan, dan sering kali aku terlena… bila aku terus begini, maka diantara para sufi, aku mungkin akan menjadi sufi terakhir yang kelak masuk surga.
Maka aku berkontemplasi kembali…
Kulepaskan derajat rajaku dan menjadi rakyat biasa, hidupku sederhana bukan karena ku tak mampu… aku menjadi seorang pengrajin kayu…
Setiap kayu yang kusentuh kusentuh dengan hatiku. Semua lekuk uratnya kudalami, kerasnya, lenturnya, daya muainya, derajat kekeringannya, aku menyatu dengannya, sehingga karyaku yang adalah kayu sebenarnya adalah aku sendiri.
Tidak hanya kayu, mengerti satu aku mengerti semua…dan menyatulah aku dengan alam. Di atas air aku bagaikan udara, aku melewatinya tanpa tenggelam di dalamnya…
Air adalah aku, udara adalah aku, kayu adalah aku… maka seperti apakah Tuhanku? Dan kembali ku berkontemplasi…
Mengapa aku bisa mewujud sebagai semua? Mestikah ada kesamaan atara aku dan segalanya? Apakah hakekatnya adalah kesamaannya? Bila hakekat dari segalanya berpulang pada sumbernya, maka siapakah aku? Zat apakah aku? Air itu, udara itu, kayu itu… zat apakah itu? zat yang satu?
Ketika aku melepaskan wujudku, jiwaku mampu menyatu dengan karya kayuku dan karyaku sebenarnya adalah aku, ketika aku membebaskan jiwaku dari keterperdayaan tubuhku tak ada air yang dapat menenggelamkanku…
Bahkan musuhku yang membenciku adalah diriku…Maka aku harus mencintainya seperti cintaku pada diriku sendiri…
Absurt… tapi itulah penjelasan Tuhanku lewat wujud-wujud yang tertangkap indra… penjelasannya menghantarkan pada petunjuk berikutnya… dan akhirnya tentang diri-Nya…
Tubuhku… jiwaku… Tuhanku… tiga hal yang selama ini kupandang berbeda…
Dan kini aku seperti terlahir kembali… tidak ada kebenaran mutlak… yang ada hanya benar dan salah, dimana salah terpendam dalam benar, dan benar tersimpan dalam salah… Selama dalam wujud ini, aku hanya bisa melakukan yang terbaik, bukan yang terbenar… karena kebenaran tak pernah milikku selama aku berwujud…
Kini aku berperang bila itu yang terbaik, aku sedih ketika membunuh, tapi kondisi dunia yang terjebak waktu dan ruang mengharuskannya… pada saatnya… pada tempatnya… itu harus…
Benar dan salah, kiri-kanan, atas-bawah, malaikat dan setan, yang menyembah yang disembah… diriku dan Tuhanku…
Selalu ada antara yang membatasi setiap dua, sebuah ruang kosong sebagai singgasana-Nya…
Dan ketika aku menemukan intisari-Nya, aku akan bertemu dengan-Nya…
Dalam ketakberdayaan tubuh jiwa mengambil alih… dalam ketakberdayaan jiwa sumberku menampakkan diri… Ketika miraj terjadi pada diriku, itulah derajat tertinggi keimananku dalam wujud ini. Itulah derajat terakhirku, seperti yang pernah dilalui orang-orang beriman terdahuluku…aku menyaksikan-Nya… Dan itulah syahadatku.
Asyhadu An-Laa Ilaaha Illallah
Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah
** Isi kitab bukan dongeng tentang umat terdahulu, bukan cerita yang terkukung masa… masa ruang ataupun waktu…hanya wujud yang terkungkung masa, maka manusia wujud berada dalam kerugiannya…
**Atas isi kitab, manusia bukannya mencari intinya, malah membahas silsilahnya, mencari lokasi kejadiannya… menyimpulkan tahun kejadiannya…
Tidak penting siapa keturunan siapa, nama A atau nama B, tapi pesan di balik ceritanya, hakikat di balik personalnya…
**Ketika nabi tak teridentifikasi secara judul (nama) maka yang muncul adalah hakekatnya, seperti yang sering disebut-sebut sebagai hakikat Muhammad, atau nur Muhammad, atau mungkin lebih tepat nur Ahad…
Sudah sewajarnya Nur Muhammad telah ada sejak nabi pertama, karena bukan personalnya yang ada, namun sejatinya… kesejatian manusia sudah ada sejak awal penciptaan, dimana tak ada yang lebih sejati daripada sang Sejati itu sendiri. Bahkan tak ada yang ada selain Yang Maha Ada itu sendiri. Namun konsep “ada dan tiada” terdistorsi oleh wujud, sehingga yang mewujudlah yang manusia sebut sebagai ada.
**Ada petunjuk yang mengkerucut pada sebuah inti, dimana kitab menyebutkan, bahwa petunjuk adalah bagi diri… Para sufi bahkan melanjutkan, bahwa siapa yang mengenali dirinya mengenali Tuhannya… Makna semua nabi adalah tentang aku, dan kesadarnnya akan melahirkan pertanyaan… Siapakah aku?
**Manusia pada sejatinya adalah makhluk sempurna, padahal kesempurnaan adalah sifat-Nya… maka apakah tak terbayangkan, sedekat apakah hubungan manusia dengan Tuhannya?
**Zat itu… Yang Maha Sumber… Takkan selamat mereka yang tak kembali (pada sumbernya)