Ridha dan ikhlas adalah ketika manusia menempatkan diri pada kekinian, bukan kemarin bukan besok, bukan tadi dan bukan nanti.
Kemarin adalah penyesalan atau kebanggaan, sedangkan besok adalah harapan atau kegelisahan.
Meniadakan makna tentang kemarin atau besok sama dengan memaknai sepenuhnya tentang kini.
Memberi makna pada kemarin atau besok adalah seperti berdiri di atas sungai di antara dua tebing, satu kaki di tebing kiri dan satu di yang kanan,
tebing kanan berisi cairan emas yang panas membara, tebing kiri berhunikan bidadari yang suka mengkebiri,
yang kanan membakar, dan yang kiri mengkebiri, tapi keduanya sungguh menggoda.
Entah mengapa manusia sering kali berpihak pada satu diantara yang dua… dan pilihan sungai luput dari daftar menu.
Jatuhlah ke dalam sungai dan rasakan kemana dia membawa…
Karena sebenarnya di situlah kita sedang berada.
Memberi makna pada kemarin atau besok melemahkan pemaknaan terhadap kini.
Kekinian adalah tengah, seperti mizan atau bahkan arasy, yang tidak di langit, tidak pula di bumi.
Diantaranya, tapi meliputi keduanya.
Seperti mikrokosmos yang meliputi makrokosmos, karena didalam setiap manusia adalah jagat raya semesta.
Ketika makna semu tentang kemarin atau besok terabaikan, maka saat itu pula terjadi ridha dan ikhlas,
Semua jadi berarti apapun kondisinya, baik menurut pikiran orang lain maupun diri sendiri.
Karena penilaian adalah parameter, dan tanpa paramter maka segalanya telah tercapai.
Dan itulah kebahagiaan yang hakiki… rasa syukur yang sejati.
*****
Muncul kesalah pahaman ketika manusia memahami peniadaan makna kemarin dan besok,
Karena sesungguhnya, sesuatu yang tiada tak mungkin ditiadakan.
Maka adalah kodrat bagi manusia untuk berlanglang buana,
menempuh lelucon masa, masa ruang dan masa waktu…
Memenuhi pemaknaan kemarin atau besok,
Sebelum akhirnya mampu mencapai kesadaran tentang tengahnya…
Bahwa di “kini”-lah kita sedang berdiri.
Selalu ada tengah di antara yang dua, dan itulah yang ketiga.
Saat 1-2-3 menjadi jelas… saat itulah ayat Allah diaplikasikan, yaitu “berhentilah mengatakan tiga!”
Karena pada hakekatnya, kehakikian adalah ketunggalan yang nyata…
Seperti yang ingin disampaikan oleh Yesus, bahwa trinitas adalah tunggal…
Seperti yang ingin disampaikan oleh Rasulullah bahwa sepertiga Al Quran adalah Al Ikhlas
Dan dengan tiga kali membacanya, maka Alquran menjadi utuh…
Maka “berhentilah mengatakan tiga” Allah berkata,
Ada sebuah ganjil diantara yang genap, dan keganjilan adalah kesukaan-Nya…
Ada nol diantara plus dan minus… disitulah tempat perkenalan dengan-Nya…
Temukan kesalahan dari kebenaran, temukan kebenaran dari kesalahan…
Hanya dengan begitu maka tidak ada prasangka…
yang ada hanyalah kondisi dohir… dan jiwa tidak bergeming…
Dan itulah kebahagiaan yang hakiki… rasa syukur yang sejati.
*****
Pasrah banyak tersalahartikan sehingga terdengar menyedihkan…
Memang pasrah adalah tunduk pada kuasa-Nya,
Sayangnya kuasa-Nya pun banyak tersalah artikan…
Kunci pasrah adalah mengenali diri
Dimana diri adalah kesempurnaan yang terkungkung dalam keterbatasan kodrat
Kesempurnaan adalah hak dan kodrat adalah kewajiban
Allah adalah Al Haq
Yang tak berawal dan tak berakhir
Yang Maha Awal dan Maha Akhir…
Kodrat adalah keterperdayaan dualisme…
Keterjebakan persepsi… tentang awal dan akhir…
Dan demi masa, manusia berada di dalam kerugiannya…
Pasrah adalah sadar akan kodrat, bahwa itu hanyalah kewajiban,
Sementara haq… Haq ada di dimensi lain dari kehidupan.
Tubuh kodrat bisa mati, namun tubuh hak adalah abadi…
Pasrah adalah menerima mati kodrat… karena itu hanyalah tipu daya Al Haq
Pasrah bermakna, bahwa bahkan ketika kematian datang… terimalah…
Namun ketika Al Haq belum menganugrahkannya,
berkeringatlah, bekerja dan berusahalah…
Karena dibanding kematian… itu tidak seberapa…
Ketika keterbatasan kodrat membatasi…
Berkeringat, bekerja, berusahalah… namun di dalam diam
Karena di dalam diam ilmu tertinggi bersemayam…
*****
Sheng Ren dari Cina berkata, selama Tuhan bisa diungkapkan, itu bukanlah Tuhan
Oh, saya mengerti… sekarang saya mengerti…
Tuhan itu… anu… anu dan anu…
Dan Brahmana dari India berkata… neti… neti… bukan itu.. bukan itu…
Kemudian Nabi dari Arab berkata, “tiada” Tuhan selain Allah…
Oh saya mengerti… sekarang saya mengerti…
jadi Tuhan itu Allah…
Dan mereka pun berkata… kamu susah sekali mengerti…
Allah yang bisa dijelaskan bukanlah Allah…
Bukan ini… Bukan itu…
Bukan pula Allah yang kamu ungkapkan dengan cara kamu mengungkapkannya…
Tiadakan yang kamu ungkapkan sebagai Allah!
Dan kamu akan berjabat tangan dengan-Nya…
Namun setelah itu… tetap kamu tak mampu menjelaskannya…
*****
Mengapa tercipta syair atau puisi?
Penyair ingin menyampaikan apa-apa yang tak mampu dijelaskan…
Juga apa yang tak bisa dimengerti…
Penyair hanya mampu menerangkan kekosongan sebuah gelas dengan menerangkan setengahnya yang terisi…
Penyair hanya mampu menyampaikan kekosongan sebuah ruang dengan menceritakan dinding-dindingnya yang membatasi…
Seperti istana di surga… adalah kekosongan yang mulia…
Bila di-prosa-kan,
Manusia akan merasa mengerti apa yang belum terbekali…
Sehingga tentang ini dan tentang itu… Manusia berpersepsi…
Berdasar pembawaannya… sebatas masa hidupnya… yang segitu-gitunya…
Di-puisi-kan…
Manusia akan terbekali tentang getar sebuah rasa…
Tentang kebenaran dan keragu-raguan…
Pengetahuan dan ketidaktahuan pada titik yang sama.
Keyakinan dan keraguan
Kebenaran dan kesalahan
Menanjak dan menurun…
Satu jalan miring yang sama,
tergantung kemana menghadap, kemana membelakangi…
Sadar akan titik berdiri, tak ada kemiringan sama sekali…
karena titik tak berarah… hanya hadir bagi dirinya sendiri,
sebagai pusat, sebagai sumber sekaligus tujuan.
Ini sama sekali bukan syair atau puisi…
Hanya tulisan kosong… tentang kosong itu sendiri.
*****
Manusia hidup di daratan, sementara nabi Khidir hidup di lautan…
Apakah ini tidak memancing kesadaran?
Kesadaran terletak di celah-celah antara pulau satu dan yang lainnya,
Kesadaran terletak di celah antara pikiran satu dan pikiran yang lainnya.
Manusia hidup di hamparan pulau-pulau,
dan pantai menjadi tabir atas lautan yang mengelilinginya,
Galaksi ditandai dengan planet dan bintang-bintang yang mengisinya,
sementara yang diisi adalah kehampaan itu sendiri…
Manusia berdasar pada pikiran atas pembawaannya,
padahal kesadaranlah yang membentuknya..
Ketenangan terletak di antara kota satu dan yang lainnya,
maka para pertapa mencari pegunungan dan gua-gua…
Ketika kota telah melebar dan saling bersatu, maka konon tanda kiamat telah datang…
Bagaimana tidak… karena kesadaran sudah tertutup penuh oleh tabir pikiran…
Bahkan Quran mengungkap, bahwa orang soleh datang dari garis batas kota.
Dan garis batas itu adalah tabir, seperti pantai dan juga garis batas pikiran.
Dan Izrail adalah matador yang membawa kain penghalang…
Antara pikiran dan kenyataan…
Mintalah mati sebelum mati,
bunuhlah izrail sebelum dia membunuhmu…
Mengembalikan materi pada pikiran dan mengmbalikan pikiran pada kesadaran
Seperti Muhamad pada Ahmad, dan Ahmad pada Ahad.
Hilangkan huruf m maka matter dibaca sebagai eter…
Mengembalikan buah pada pohonnya maka Adam dan Hawa kembali pada Biangnya…
*****
lebih keren dari bukunya ;D
BalasHapussemangat!
Perpaduan Sastra & Filsafat Yang Hidup ....
BalasHapusBerat berbobot..
BalasHapus