Aku ingin berguru padamu, anda orang yang luhur budi dan dalam ilmunya…kata seorang pencari…
Sang arif bicara… Naiklah perahuku, dengan begitu kamu menjadi muridku, tak mungkin kamu mendapat manfaat dariku bila kamu di perahumu dan aku di perahuku. Tinggalkan saja perahumu di situ, bakar saja bila perlu, karena begitu kamu menaiki perahuku, bukankah perahu itu tak kau butuhkan lagi? Tapi bila kau ragu, jangan dirusak, simpan saja di situ.
Guru yang aneh pikir si pencari. Tapi tekadnya sudah bulat, maka diikatlah perahunya di sebatang pohon dimana kelak dia akan ambil lagi… Dengan naiknya sang pencari ke dalam perahu sang arif, jadilah mereka murid dan guru…
Guru, perahumu indah sekali, sederhana memang, namun syair-sairmu yang berisi ilmu yang belum pernah kulihat sbelumnya terukir di setiap sudutnya…
Dan syair-syair itulah pelajaran pertamamu dariku… bacalah, tumpuklah terus ilmumu di atas ilmu-ilmu yang pernah kau bawa di wadah tumpukanmu… itu semua adalah pembawaanmu, dan kini bawaanmu akan bertambah penuh.
Setahun berlalu, dan sampailah mereka pada sebuah pulau… Turunlah duluan kata si guru, aku masih ada sedikit urusan… Dan memang benar tak berselang lama sang guru menyusul turun. Meninggalkan perahunya yang menyala terbakar di belakang punggungnya.
Guru! Perahumu terbakar!
Biarkan saja, memang aku yang membakarnya…
Tapi tanpa perahu itu, bagaimana aku akan kembali pada perahuku?
Bukankah pernah kubilang, perahumu belum tentu kau butuhkan lagi? Kamu memintaku menjadi gurumu, tapi pada saat yang sama kamu tidak percaya padaku… berhentilah mempertanyakan kebijaksanaanku, ambi saja manfaatku, dan hilangkan penolakanmu sekecil apapun itu…
Dulu aku pernah memintamu membakar perahumu, dan tak mungkin aku mengajarkan sesuatu yang aku sendiri tidak mengimaninya…
Perahumu adalah mediamu sebagai pencari untuk menemukanku, dan tahun lalu kau telah menemukan aku, sudah tak berarti perahumu selain wujudnya yang terlekat padanya. Kini kita sudah sampai di pulau ini, masih pentingkah perahuku tadi? Padahal tak ada sedikit pun niatku untuk berjalan mundur. Niatku adalah terus maju, dan kini di pasir inilah aku sedang berdiri.
Tapi guru, ilmumu banyak tertulis disitu…Sangat lebih berguna bila tak kau bakar dan kau biarkan orang yang berjodoh dengan perahumu untuk menuntut ilmumu yang langka itu.
Itu bukan ilmuku, itu ilmu Allah… aku hanya menyimpulkannya menurut bahasaku. Bahasaku adalah turunan dari seluk belukku, dan bagi mereka yang membacanya tanpa mengerti seluk belukku, hanya salah paham dan merasa tahu yang akan mereka dapatkan darinya. Sangat mungkin dia jadi sakti, namun bukankah kesaktian ibarat desa-desa dalam perjalanan ke istana. Aku tak mau mereka terjebak senag di desa dan berprilaku seperti pangeran di istana.
Dengan kesaktianku akan kupindahkan perahumu kesini dan apakah kamu akan merasa lebih lega…?
Terima kasih guru…
Dan ksekedip mata perahu sang murid sudah muncul disitiu…
Nah sekarang bakarlah! Sang guru bicara lagi…
Si murid bingung dan ragu…
Kau telah belajar banyak di perahuku yang terdahulu, kini pantai inilah perahuku, masih berminatkah kau menaikinya bersamaku? Syair di sini jauh lebih banyak daripada di dalam perahuku…
Tak mungkin aku di perahuku dan pikiranmu di perahumu bila kamu ingin belajar dariku…
Tak mungkin kau menggauli pikiranku bila kau terlekat dengan segala pikiranmu yang terdahulu… karena perahumu hanyalah mediamu, metodologimu… dan kini kau harus mengosongkan dirimu bagiku yang sedang berjalan di perahu baruku…
Sang murid akhirnya mengerti… dan mereka mulai berjalan, meninggalkan 2 bangkai kapal yang sedikit demi sedikit kembali kearah datangnya, menyatu ke dalam samudra…
*** Cerita ini terinspirasi oleh cerita nabi Khidir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar