Manusia tercipta dari tanah, tanah hamparan yang membentang rata. Ketika goncangan terjadi di dalam diri, tanah hamparan tak rata lagi.
Sebagian timbul sebagian tenggelam, maka jadilah gunung dan lembah.
Pada lembah terdalam air menggenang.
Gunung bertambah tinggi dan lembah bertambah dalam, dan genangan akhirnya menjadi lautan, menjadi samudra yang dalam.
Di dasar samudra, gelapnya begitu pekat.
Menyelami samudra menggauli makrifat ilmu-Nya, menyentuh dasarnya menemukan hakekat-Nya.
Karena dasar samudra adalah tanah terendah dari hamparan yang semula rata. Sebuah tanah yang tertutup oleh lautan ilmu rahasia-Nya. Sebuah tanah yang terlupa…
Maka menyentuh dasarnya adalah menyentuh dirinya… sekaligus diri-Nya. Karena yang menyentuh dirinya menyentuh pula Tuhannya.
Tanah dilautan... dasar samudra…
Tanah di langit… puncak pegunungan…
Gunung menjulang menabrak awan, dan jadilah Himalaya punggung dunia.
Tak kuasa melihat di dalam pekat, manusia berpihak pada yang terlihat saja… puncak gunungnya…sebagai kebenaran dirinya…
Jadilah gunung tonjolan dirinya, puncak exsistensinya…Jadilah tulang punggungnya yang menegakkan tubuhnya.
Dan manusia tegak bertopang pada setengah yang satu, tak sadar atas setengah yang lainnya… dan terlena…
Mengagungkan yang tinggi, melecehkan yang rendah…
Tidak di mizan, manusia tersesat dari asal mulanya… menjauh dari sumbernya…
Jadilah hidup ini senda gurau… tipu daya… nyaris seluruhnya…
Karena Allah-lah sang penentu kadar, seperti titik tengah pada timbangan. Semakin tinggi gunung semakin rendah dasar samudranya… dan kedua ujung timbangan kian menjauh dari pusatnya…
Manusia tersesat sambil membawa peta dan kompas di tangannya, matanya melihat tapi buta adalah hatinya.
Dasar samudra… Makrifatlah yang menutupinya… dan yang kelak mengangkatnya…
Sebuah keagungan dalam kerendahan yang gelap…
Dan hidayah yang senantiasa manusia tolak adalah musibah …
Bagi mereka yang menerimanya, menyatu dengannya…Allah menundukkan mata hatinya… dari pandangannya ke puncak gunung, tertunduk ke bawah menuju dinding lembah… menyusur turun hingga ke pantai, menembus air… dan terus… dan terus… sampai ke tanah terendahnya…
Hatinya menjelajah… dalam tubuhnya yang diam. Dan dasar samudra seolah terangkat… mendekat …
Dan Allah-lah yang maha Adil penentu kadar…maka di saat yang sama gunung pun kian menurunkan derajat… dan terus mendekat…
Dari sejarak sejengkal…hingga lebih dekat dari jarak telunjuk dan jari tengah…dan tanda kiamat telah dekat… waktu terjanji… yang ditunggu-tunggu…
Dasar samudra, puncak gunung dan seorang manusia diantaranya…
Dia berdiri disana… tidak di atas tidak di bawah, tidak di langit tidak di bumi… seperti arasy…
Dalam harmoni… dalam keseimbangan…dalam mizan
Jarak mengecil, dan kini… dalam satuan ketakterhinggaan…
Saking dekatnya, jaraknya lebih tipis daripada seperseribu tipisnya sehelai rambut…
Kesadaran berkata… bahwa ketika gunungnya dihancurkan, kini yang ada hanyalah fatamorgana…dan ketika dasar lautan terangkat, gelapnya bersinar laksana cahaya…
Fatamorgana yang tujuh warna kembali pada sumbernya sebagai cahaya, maka fatamorgana dan cahaya adalah hal yang sama…
Jarak yang tak berjarak kian merapat… antara yang dua dan yang ketiga ditengahnya… mereka seperti menyatu…
Maka berhentilah mengatakan tiga…
Rahasia terungkap baginya bahwa kini ia sempurna, sehingga “dia” yang semula ia pikir ada, menjadi tiada, sebagai keberadaan yang paling nyata…