Allah adalah penguasa atas langit dan bumi, segala yang berpasangan, kiri dan kanan, segala yang bersifat dualisme yang merupakan ciri dunia.
Dalam hal ini (hidayah bagi mereka yang berfikir), mengapa pemurah berpasangan dengan penyayang? Sementara sifatnya sangat dekat, sangat tidak bertolak belakang. Tidak seperti langit dan bumi, tidak seperti Yang maha Dzahir dan Maha Bathin, Ya Awal Ya Akhir, tidak seperti banyak Asma yang lainnya.
Dalam satu kondisi, cinta tidak berpasangan dengan benci, justru dengan kasih. Maka dalam ajaran Isa Almasih, dikenal istilah cinta kasih. Dalam hal ini sangat mirip dengan pasangan Asma Yang Maha Pemurah dan Yang Maha Penyayang.
Maka bilamana segala yang berpasangan itu berkebalikan, maka mengapa Cinta berpasangan dengan Kasih, dan Yang Maha Pemurah berpasangan dengan Yang Maha Penyayang?
Kenali Allah dari ciptaan-Nya, dengan kata lain, kenali Dia dari wajah-wajah-Nya, dimana dikatakan dalam Al Quran bahwa kemanapun kamu memandang disitulah wajah Allah (QS 2:15)
Salah satu Ciptaan-Nya yang menerangkan tentang yang berkebalikan dan yang berpasangan adalah kutub-kutub bumi.
Al Quran mengisahkan tentang Dzun Nun yang berjalan ke barat dalam rangka mencari sebuah negri yang disebut dengan negri matahari terbenam. Tentunya dia mengawali perjalanannya dari timur dan mengarahkan tujuannya ke arah berat. Ketika seseorang berjalan terus ke arah barat, apakah itu menembus hutan, menaiki gunung ataupun menyebrangi lautan, bila seseorang berjalan lurus ke barat, maka dia akan sampai di tempat dia memualai, karena bukankah bumi itu bulat? Berjalan menjauhi titik start, mengitari bumi, dan justru berakhir di titik semula. Ya Awal Ya akhir.
Maka berjalan dari timur menuju barat berakhir di timur itu sendiri. Timur dan barat, kiri dan kanan, atas dan bawah hanyalah masalah sudut pandang. Tanpa arah yang ada hanyalah posisi berdiri, disini dan sekarang. Semua kembali pada diri sendiri.
Al Quran mengindikasikan hal ini dalam culpikan QS 27: 92 …Barang siapa mendapat petunjuk, maka sesungguhnya dia mendapat petunjuk untuk “diri”-nya…
Kisah Dzunun, sebuah analogi yang seolah-olah ingin bicara, bahwa ketika seseorang memulai langkah dengan cinta, maka adalah suatu keniscahyaan bahwa dia akan mengalami benci, namun bila dia berjalan terus dengan istikomah, yaitu menempuh jalan yang lurus sesuai landasannya yang semula, maka ujung jalan dari benci itu sendiri tidak lain adalah kasih, atau cinta itu sendiri. Awalnya adalah akhirnya.
Maka, Ya Rohman Ya Rohim adalah suatu makam (tingkatan) yang amat sangat luhur yang merangkum dua titik yang berkebalikan secara begitu dekat. Sebuah ciri kesempurnaan seorang pejalan atas pengenalan Wajah-Wajah Allah di dunia, dimana timur dan barat pada dasarnya tidak pernah memiliki perbedaan. Awal dan akhir pada hakekatnya adalah sama. Dalam hal ini, Al Quran mengatakan bahwa segala hakekat berpulang kepada Allah (QS 6:149 Katakanlah, alasan yang kuat hanya kepada Allah... ).
Semua Wajah Allah, Semua Ciptaan-Nya berpulang pada penciptanya.
Inna lillahi wainna ilaihi rojiun
Renungan :
Tulisan tentang ayat pertama Al Fatihah ini tidak berakhir disini, bagamana mungkin berakhir, ketika kalimat penutup di atas bicara bahwa "ciptaan berpulang pada penciptanya".
Bagi mereka yang berfikir, bahkan ciptaan dan pencipta adalah dua hal yang bertolak belakang dan belum mencapai makam Ya Rohman Ya Rohim ketika belum dimaknai dengan hakekat kesatuan. Maka satu-satunya cara untuk mencapai makamat tersebut, bagi manusia yang dikodratkan untuk mengalami Dzahir, adalah berjalan. Sunatullah adalah keniscahyaan, maka perjalanan dzahir ketika dimulai dengan Rahman, niscahya perjalanan akan melewati bathin. Dan bilamana perjalanan dilakukan dengan istikomah, ridha dan ikhlas, maka perjalanan bathin yang bermula dari titik dzahir akan berakhir di Dzahir itu sendiri.
Namun dzahir yang kedua ini adalah dzahir yang sudah lengkap dengan segala kelengkapan bathin yang dipupuk di perjalanan antara kedua titik dzahir awal dan dzahir akhir. Maka dititik kedua ini, dzahirnya sangat bathin dan bathinnya jelas-jelas sedang menjalani dzahir.
Bisa dianalogikan bahwa di makam ini, dzahir adalah bathin, dan begitupun sebaliknya.
Bilamana dzahir dan bathin secara hakekat adalah sama, seperti pula barat adalah timur dan begitupun sebaliknya, maka tidak ada bedanya mengatakan bahwa matahri terbit di timur dan terbit pula di barat.
Hal ini mengingatkan pada cuplikan ayat (QS 55:17) Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya.