Pembuka Botol

Manusia adalah tubuh dan jiwa…

Maka dalam hal ini botol adalah tubuh, dan air adalah apa yang dikandung oleh tubuh tersebut…


Air sudah tertampung di dalam botol sebelum botol minuman dikemas dan didistribusikan.

Seperti itu pula Allah meniupkan ruh sebelum manusia dikeluarkan dari rahim ibunya.

Air sudah ada pada diri kita, tapi seperti layaknya minuman botol yang tak bisa dinikmati bila tutupnya belum dibuka, begitu pula manusia.

Tulisan ini bukan tulisan tentang cara membuka botol, namun lebih pada mencari pembuka botol itu sendiri.

Nyelip dimana? Tempat mana yang belum dicari?


Tulisan ini ditulis oleh seekor ayam yang (semoga) dari pantatnya keluar intan diantara kotorannya.

Sehingga sudah tidak penting lagi ayamnya, karena terlanjur silau oleh intannya. Karena intan tetaplah intan darimana pun datangnya.


Tulisan ini ditulis oleh ayam yang ingin belajar terbang…

Semenjak melihat rajawali jauh di atas kepalanya…


Tulisan ini diperuntukkan bagi sesama ayam yang ingin belajar terbang walaupun dikatakan tak mungkin.

Atau bagi rajawali yang terbang mengitar dengan segala pesonanya, tapi lupa caranya untuk mendarat.

Atau bagi burung phoenix yang berkenan membagi sedikit cahaya dari bulu apinya, pada seekor ayam yang pantatnya lecet karena intan.


Semoga Tulisan ini bisa bermanfaat…

atau setidaknya… semoga menyenangkan…

Tapi yang pasti…. semoga Allah berkenan…

Wasalam…

Ayam

Laman

Minggu, 28 Agustus 2011

Tanah, Air, Tukang Kebun, Prajurit dan Sang Raja


Manusia adalah tanah-tanah yang sering kali lupa bahwa pada hakekatnya kita tercipta daripadanya. Bahwa kita adalah kuburan yang di dalamnya akan dibangkitkan suatu makhluk yang bergerak dan bernyawa (QS 27:82).

Kuburan adalah seperti kendi dari tanah liat, yang mampu menampung air penghilang dahaga… Air kendi itu menyegarkan. Tapi air dalam kendi di atas meja adalah air yang diam, dan tiada manfaat dari air yang diam. Manfaatnya adalah ketika kendinya sendiri dipegang, diangkat, dimiringkan… dituangkan… barulah pada akhirnya bisa airnya diminum.

Hakikat kendi ada pada airnya… hakikat manusia tanah ada pada jiwanya…

Lalu kendi itu… siapa yang menuangkannya dan siapa pula yang meminumnya?


*****


Manusia adalah tamu di dunia yang dititipkan padanya. Maka manusia sekedar tamu di rumah sang raja.

Manusia seperti tukang kebun di kebun sang raja. Senantiasa mengurusi tanah dan memanen buah, tapi jarang sekali memasuki rumah sang raja. Bukan karena tidak mau, tapi karena kaki selalu kotor oleh tanah kebun yang senantiasa diolah.

Hanya setelah mencuci kaki, bahkan kadang harus mandi untuk melepas semua kotor dan bau keringat, hanya setelah itulah sang tukang kebun bisa bertamu ke rumah sang raja.

Penerima tamu adalah ajudan raja, bahkan kadang hanya prajurit biasa, namun di hadapan si tamu, dia adalah perwakilan sang raja. Tukang kebun menghormati sang prajurit selayaknya dia menghormati raja itu sendiri. Raja yang bijak memiliki prajurit yang loyal lagi patuh, dan sang tukang kebun akan diperlakuan sebagaimana sang raja memerintahkan.

Bila sang raja suka pada si tukang kebun, prajurit akan menyuguhkan minuman pada tukang kebun yang telah bertransformasi menjadi seorang tamu raja. Prajurit takkan menyuguhkan bila tanpa ijin dari sang raja, maka pada dasarnya sang rajalah yang sebenarnya menyuguhkan/ menyajikannya.

Jadi  siapa yang menyajikan dan siapa yang meminumnya?


*****

Takkan ada tukang kebun bila tak ada buah yang harus dipetik atau bunga yang harus dinikmati. Tak akan ada buah atau bunga bila tak ada tanaman yang pernah berwujud pucuk. Tak ada tanaman bila tak ada biji di dalam tanah. Dan semua bermula dari tanah yang terkena air hujan.

Tanah yang terairi bertransformasi menjadi tukang kebun, dan akhirnya menjadi seorang tamu raja. Maka pada hakekatnya tanah, tukang kebun dan tamu raja adalah sama.

Prajurit loyal adalah manusia yang seperti hilang keinginan. Seolah-olah keinginan raja adalah keinginan dia pula. Orang lain mungkin melihat hidup sang prajurit teramat membosankan, dan sama sekali tidak menyenangkan. Tapi siapa tahu, mungkin sang prajurit menemukan kesenangan yang lain, yang tak dapat dirasakan orang lain. Tapi bagaimanapun sebelum menjadi prajurit, dia pernah menjadi seperti orang lain. Dia adalah orang yang berlepas diri dari derajat orang lain ketika dia menerima tawaran kerja dari sang raja, dan sekarang dia berada di atas orang lain. Dia memberi suguhan sang raja, dan tak ada yang bisa meminumnya bila sang prajurit tidak menyuguhkannya.

Para nabi… prajurit Allah. Yang membawa kabar gembira seperti angin yang membawa uap air. Angin meniupkan uap air dan mengumpulkannya menjadi awan, hanya supaya manusia mampu melihat uap yang sebelumnya tak mungkin terlihat. Ketika awan sudah mencapai kadar yang ditentukan, maka tumpahlah ia dalam bentuk hujan. Dan hanya pada tanah, air bisa ditampung. Air yang tumpah pada batu hanya akan lewat begitu saja.

Sebelumnya air ditampung oleh udara dalam bentuk uap dan kemudian dikumpulkan dalam bentuk awan. Dan tanah adalah tujuannya. Tanah seperti halnya nabi Adam dan setiap manusia keturunannya. Tanah menampung hujan, tapi tetap saja manusia sering kali tidak menyadarinya, karena terbiasa dengan kebenarannya yang membatu…

*****

Samudra makrifat… Mengapa para sufi menggunakan istilah samudra?
Bila suhu memanas di kawasan samudra tersebut…maka tercipta uap yang kelak terkumpul sebagai awan. Maka ketika awan tumpah berupa hujan pada sewujud tanah berupa manusia… maka menjadi suci sekali manusia itu… karena tanahnya dialiri air suci, dan tanahnya pun menjadi tanah suci…

Di tanah suci itulah Allah membangun kabah dan masjidil haram… tak jauh dari urat leher manusia…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar