Pembuka Botol

Manusia adalah tubuh dan jiwa…

Maka dalam hal ini botol adalah tubuh, dan air adalah apa yang dikandung oleh tubuh tersebut…


Air sudah tertampung di dalam botol sebelum botol minuman dikemas dan didistribusikan.

Seperti itu pula Allah meniupkan ruh sebelum manusia dikeluarkan dari rahim ibunya.

Air sudah ada pada diri kita, tapi seperti layaknya minuman botol yang tak bisa dinikmati bila tutupnya belum dibuka, begitu pula manusia.

Tulisan ini bukan tulisan tentang cara membuka botol, namun lebih pada mencari pembuka botol itu sendiri.

Nyelip dimana? Tempat mana yang belum dicari?


Tulisan ini ditulis oleh seekor ayam yang (semoga) dari pantatnya keluar intan diantara kotorannya.

Sehingga sudah tidak penting lagi ayamnya, karena terlanjur silau oleh intannya. Karena intan tetaplah intan darimana pun datangnya.


Tulisan ini ditulis oleh ayam yang ingin belajar terbang…

Semenjak melihat rajawali jauh di atas kepalanya…


Tulisan ini diperuntukkan bagi sesama ayam yang ingin belajar terbang walaupun dikatakan tak mungkin.

Atau bagi rajawali yang terbang mengitar dengan segala pesonanya, tapi lupa caranya untuk mendarat.

Atau bagi burung phoenix yang berkenan membagi sedikit cahaya dari bulu apinya, pada seekor ayam yang pantatnya lecet karena intan.


Semoga Tulisan ini bisa bermanfaat…

atau setidaknya… semoga menyenangkan…

Tapi yang pasti…. semoga Allah berkenan…

Wasalam…

Ayam

Laman

Kamis, 04 Agustus 2011

Tanah, Bumi, Bulan, Matahari, dan Bintang-bintang…

Aku tercipta dari tanah
Dan ketika aku sudah lengkap oleh tiga unsur yang  lainnya,
maka mewujudlah aku menjadi bumi…

Maka kini aku menjadi bumi yang mengalami siang dan malam…
Siang aku bekerja... karena siang aku terang,
dan ketika gelap malam datang… tertidurlah aku.

Tentang malam…
awalnya kusalahkan matahari yang tidak menyinariku.
Namun setetes kesadaran mendatangiku…
maka aku tahu bahwa matahari tak pernah padam terhadapku
Aku hanya kurang mengenali diriku sendiri…
Karena ternyata, gelapnya malam hanyalah bayanganku sendiri…

Maka perenungan kujalani, dan dalam kontemplasi aku tertidur,
Kubangun dalam sadar, dan kutemukan diriku tak dilanda malam lagi…
aku bukan bumi lagi …
Bumi yang kutinggalkan memanggilku “bulan”…

Ketika bumi membutuhkan penerang ,
aku menerima sinar matahari dan memantulkannya,
bagi kegelapan bumi yang belum mereka sadari…
yang tetap saja mereka sebut sebagai malam…

Ketika malam mereka tiba, aku ada bagi mereka…
dan ketika mereka mengalami siang, aku beristirahat terhadap mereka,
maka cukuplah waktuku untuk kembali berkontemplasi...
berkontemplasi terhadap matahari…

Dan di dalam kontemplasiku... aku berkontemplasi lagi

*****

Setiap hari tambah kusadari, bahwa pengetahuanku menjebakku…
Pengagunganku atas pengetahuanku menutupi pandanganku…
Tak kusangka, sebagai bulan, ego bumiku masih menyertaiku…

Bisa-bisanya aku meremehkan sebuah komet yang bercerita padaku
Bahwa matahariku hanyalah satu bintang antara banyak lainnya…
Sang komet menjengkelkan sekali… dia meremehkan matahariku…

Padahal aku tahu, langlangbuananya ribuan tahun cahaya…
Dan pengetahuannya adalah buah dari pengalamannya…
Tapi jengkelku mencemari pandanganku…
dan matahari yang hanya menyala terus seolah menegurku…

“Bukan aku yang dia remehkan, tapi kamu sendiri yang merasa aku diremehkan…
Kamulah yang merasa kebenaranmu deremehkan…
bukalah matamu… aku memanglah bintang antara banyak bintang lainnya,
bahkan aku salah satu yang terkecil… tapi sama sekali tidak membuatku kecil…
berlanglangbuanalah, dan kamu akan tahu…”

Maka pandanganku terbuka…
Dan aku mengumpulkan segala daya supaya bisa berlanglang buana…
Ya… seperti sang komet buntut panjang yang sempat berjunjung kesini
Perantau yang kini sangat kukagumi...

*****

Akhirnya… Suatu hari... dayaku sudah cukup memadai….
Sudah siap kuberangkat, setidaknya bersilaturahmi ke dua bintang terdekat…

Kupamit pada matahari… dan reaksinya hanya menyala… seperti biasanya…
Kupamit pada bumi… yang saat itu... sisi malamnyalah yang menghadap padaku
Sepi sekali, mereka semua sedang tertidur...
Sedikit demi sedikit ku menjauhi… dan kegelapan bumi kian pekat terlihat…
Lama-lama suara sepi tak terdengar lagi...
Mulai terdengar erangan yang berubah menjadi raungan...
Menyusul tangis pilu yang kian lama kian menyiksa…

Aku tersiksa… ketika bumi tersiksa…
Bumi membutuhkanku !!
Tapi aku perlu berlanglangbuana…
Itulah ibadah yang diamanahkan matahari bagiku…dan aku mengingikannya…
Dan itu menjadi dilemaku…

Matahari masih bisa kulihat dan dia masih bisa melihatku…
Maka aku meminta nasihatnya…
Dan dia bereaksi seperti biasanya… hanya bersinar tanpa berhenti…

Dan itulah yang kuperlukan… nasihat yang tepat…
yang kuperlukan hanyalah membuka pandangan… dan itu sudah lama kulakukan…
kini tugasku adalah menerima kodratku…
Seperti matahari… yang kutahu selalu memiliki setiap jawaban atas semua pertanyaanku…
Tapi sesuai kodratnya, boro-boro menjawab… dia hanya bersinar tanpa henti…
Karena bumi memerlukan siang darinya, dan aku memerlukannya untuk memantulkan sinarnya…

Sampai kapanpun aku bisa berubah bentuk tanpa mengenali diri…
dari bumi menjadi bulan, mungkin menjadi komet… dan entah apa lagi…
Padahal…
Jika saja di suatu titik aku mampu berhenti dari perubahan bentuk,
dan berserah diri atas diriku sendiri,
Pada setiap waktu dan setiap kondisi… mengenali kodratku secara apa adanya…
dan mampu menerimanya…
Maka dengan pandanganku yang sudah terbuka…
insyaallah… aku akan melebihi semua bentuk, bahkan matahari dan bintang manapun…
karena yang kulihat bukan bentuknya, melainkan cahayanya…

dan ketika kukenali cahaya kegelapan yang menyilaukan,
maka utuhlah pandanganku…
dalam mengenali keutuhan cahaya-Nya…

*****

Maka kini… aku urung dari langlangbuanaku…
kukurbankan niatku atas ibadahku…
dan saat itulah kesadaran baru mendatangiku…
Kurbanku atas niatku adalah pengurbananku atas egoku…
dan aku mengurbankan diriku sendiri… yang bernilai jutaan sapi di bumi…

Sebuah cahaya yang gelapnya menyilaukan mendatangiku…
Mengundangku dalam perjamuan tanpa makanan tanpa minuman, tapi penuh kebahagiaan…
Dan aku memasuki rumahnya…
Yang berada diantara semua planet dan bintang, namun juga meliputi seluruhnya…

Dan kusentuh setiap benda langit… bumi, matahari, bahkan wujud bulanku sendiri…
kusentuh pasir menyala dari bintang yang tadinya akan kukunjungi…
dan seperti matahari… dia bereaksi hanya seperti biasanya… hanya sebagaimana mestinya…


*****

Dan aku terbangun…
Tidak sebagai bumi, tidak pula bulan…
bukan komet atau pun bintang terbesar dengan api terpanas…

Aku terbangun…
Sebagai tanah yang bersyukur atas tanahku,
Air yang mengalir sesuai fungsiku,
Udara yang ada walau tidak teraba,
Api yang membakar sebagaimana panasnya…

Aku ada… ketika ketiadaan ego… meng-ada-kan aku
Dan aku adalah aku…hanyalah aku…
utuh sempurna… seperti sedia kala…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar